Emas Itu Ampas: Sebuah Film Dokumenter tentang Olah Ampas Kopi Masyarakat Urban di Indonesia

Abstract

Indonesia dikenal sebagai negara produsen sekaligus pengekspor terbesar keempat di dunia, setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Tingkat produksi dan konsumsi kopi di Indonesia yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kopi, tidak diimbangi dengan kesadaran lingkungan bahwa ampas kopi dapat mencemari lingkungan. Padahal, ampas kopi masih berpotensi untuk diolah kembali menjadi barang yang lebih berguna, sesuai dengan konsep ekonomi hijau. Metode pendekatan yang digunakan dalam pembuatan film dokumenter ini adalah pendekatan secara literatur dan wawancara dengan beberapa tokoh pengolah ampas kopi di Salatiga dan Jakarta, yang selama ini tidak muncul di permukaan media informasi. Film dokumenter ini disajikan dengan gaya bertutur non-naratif, sehingga penonton tidak didikte oleh narator melainkan mendapatkan pengalaman bertutur secara langsung dari para narasumber yang dirangkai secara tematis. Hasil pembuatan film dokumenter ini mencerminkan bahwa betapa rendahnya pengetahuan para pebisnis dan penikmat kopi mengenai dampak lingkungan yang disebabkan oleh ampas kopi. Meskipun begitu, dalam film dokumenter ini juga menunjukkan bahwa ada segelintir orang atau lembaga yang sudah merintis usaha olah ampas kopi baik dalam skala rumahan maupun industri. Temuan yang lainnya juga menunjukkan bahwa jumlah literatur mengenai pengolahan ampas kopi dalam bahasa Indonesia juga masih jarang, sehingga ke depannya, perlu memperbanyak literatur interaktif tentang olah ampas kopi.

Indonesia is known as the fourth largest producer and exporter in the world, after Brazil, Vietnam and Colombia. The level of coffee production and consumption in Indonesia which affects the economic growth of coffee, is not balanced with environmental awareness that coffee waste can pollute the environment. In fact, coffee waste still have the potential to be repurposed into more useful goods, related to green economy concept. The method of approach used in making this documentary film is a literary approach and interviews with several people who have been repurposing coffee waste in Salatiga and Jakarta, which have not appeared on the surface of the information media. The documentary is presented in a non-narrative-style, so that the audience is not dictated by the narrator but rather gets the experience of more authentic story directly from the source. Each piece of the story is arranged thematically. The results of this documentary filmmaking reflects how low the knowledge of coffee businessman and coffee lovers about the environmental impact caused by coffee waste. Even so, in this documentary also shows that there are a handful of people or company that have pioneered coffee waste processing business, both home and industrial scale. Other findings also indicate that the amount of literature on coffee waste business in Indonesian is also still scarce, so in the future, it is necessary to increase the amount of interactive literature about coffee waste processing.