Kajian Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead Terhadap Makna Fenomena Kesurupan Pada Pagelaran Kesenian Kuda Lumping di Kota Salatiga

Abstract

Fenemonena kesurupan dalam pagelaran kesenian kuda lumping adalah sebuah realitas dalam masyarakat agama dan budaya di Kota Salatiga. Sebagai sebuah realitas yang hadir di ruang publik, fenomena kesurupan terbuka untuk diiinterpretasi oleh anggota-anggota masyarakat. Beberapa tokoh agama memaknai fenomena kesurupan dalam pagelaran kesenian kuda lumping sebagai simbol dari kebudayaan Jawa yang berhubungan dengan tindakan syirik, musyrik, juga penyembahan berhala. Hal tersebut adalah stigmatisasi negatif, yang dalam pra-penelitian telah disangkal oleh para sesepuh kesenian kuda lumping.

Penelitian ini mencoba menggali makna esensial dari fenomena kesurupan dalam pagelaran kesenian kuda lumping di Kota Salatiga dari persepsi sesepuh. Sesepuh adalah aktor sosial yang bertangung jawab dalam melakukan pementasan fenomena kesurupan tersebut. Sudut pandang interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead dipergunakan oleh peneliti untuk menemukan jawaban dari dua pertanyaan penelitian, antara lain: pertama, bagaimana makna fenomena kesurupan pada pagelaran kesenian kuda lumping dalam proses interaksi sosial di masyarakat serta di dalam diri sesepuh, yang menjadi dasar untuk mementaskannya dalam pagelaran kesenian kuda lumping di Kota Salatiga?; dan kedua, bagaimana kajian kritis dari perspektif Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead terhadap persepsi sesepuh atas makna kesurupan dalam pagelaran kesenian kuda lumping di Kota Salatiga?

Kajian kritis terhadap data dari narasumber menghasilkan tiga makna esensial atas fenomena kesurupan dalam pagelaran kesenian kuda lumping, antara lain: pertama, fenomena kesurupan sebagai tarian kosmos; kedua, pementasan fenomena kesurupan sebagai bentuk pergulatan spiritualitas sesepuh sebagai manusia Jawa; dan ketiga, pementasan fenomena kesurupan sebagai tindakan merawat kehidupan. Ketiga hasil kajian tersebut tidak menunjukkan adanya hubungan dengan tindakan syirik, musyrik, dan penyembahan berhala sebagaimana stigmatisasi dari beberapa tokoh agama tersebut pada waktu pra-penelitian. Kiranya hasil penelitian ini dapat memperluas wacana atas makna fenomena kesurupan dalam pagelaran kesenian kuda lumping, serta berperan dalam pembangunan harmoni masyarakat agama dan budaya di Kota Salatiga.

The phenomenon of being possessed in the Kuda Lumping art performance is a reality in the religious and cultural community in Salatiga City. As a reality that is present in the public sphere, the phenomenon of trance is open to be interpreted by members of the community. Several religious figures interpret the phenomenon of trance in the Kuda Lumping art performance as a symbol of Javanese culture related to shirk, polytheism, and idol worship. This is a negative stigmatization, which in the pre-research has been denied by the elders of the art of Kuda Lumping. This study tries to explore the essential meaning of the trance phenomenon in the Kuda Lumping art performance in Salatiga City from the perception of elders. Elders are social actors who are responsible for staging the trance phenomenon. The symbolic interactionism point of view from George Herbert Mead is used by researchers to find answers to two research questions, including: first, what is the meaning of the trance phenomenon in the Kuda Lumping art performance in the process of social interaction in society and within the elders, which is the basis for staging it in the Kuda Lumping art performance in Salatiga City?; and second, how is a critical study from the perspective of George Herbert Mead's Symbolic Interactionism Theory on the elders' perception of the meaning of trance in the Kuda Lumping art performance in Salatiga City? A critical study of the data from the informants resulted in three essential meanings of the trance phenomenon in the Kuda Lumping art performance, among others: first, the phenomenon of trance as a cosmic dance; second, staging the phenomenon of trance as a form of spirituality struggle of elders as Javanese people; and third, staging the phenomenon of trance as an act of caring for life. The results of the three studies did not show any relationship with shirk, polytheism, and idol worship as was the stigmatization of some of these religious figures at the time of the pre-research. Hopefully the results of this study can expand the discourse on the meaning of the phenomenon of trance in the Kuda Lumping art performance, and play a role in building the harmony of religious and cultural communities in Salatiga City.