Studi Teologi Feminis terhadap Penggunaan Cadar dalam Prosesi Pernikahan di GKS Jemaat Waingapu

Abstract

Prosesi pernikahan yang ada di GKS Jemaat Waingapu dibagi menjadi dua bentuk prosesi pernikahan yakni pemberkatan pernikahan “kudus” dan pemberkatan pernikahan tanpa menggunakan kata “kudus”. Kesucian kedua mempelai yakni laki-laki dan perempuan yang akan diberkati pernikahannya menjadi tolak ukur untuk membedakan kedua bentuk pernikahan ini. Hal paling kontras yang menjadi pembeda dari kedua bentuk pemberkatan pernikahan ini terletak pada penggunaan atribut dalam prosesinya, yakni penggunaan cadar. Cadar diposisikan sebagai salah satu atribut, yang menjadi simbol dari kesucian dan hanya menjadi atribut dalam pemberkatan pernikahan “kudus”. Cadar sendiri merupakan bagian dari atribut bagi kaum perempuan pada saat pemberkatan pernikahan. Penempatan cadar sebagai atribut yang juga merupakan simbol “kesucian” yang hanya diberikan kepada kaum perempuan menempatkan posisi yang berbeda antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Studi feminis yang dilakukan oleh Simone de Beauvoir mengungkapkan bahwa perempuan lalu menjadi “the other human being”, bukan manusia (human norm) dikarenakan posisi perempuan dalam masyarakat dibentuk oleh pola pikir masyarakat tentang perempuan itu sendiri dan perempuan sukar untuk menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat. Simbol kesucian yang hanya diberikan kepada kaum perempuan, menimbulkan spekulasi di tengah-tengah jemaat bahwa kesucian harus diperjuangkan oleh kaum perempuan dan perempuan yang tidak mengenakan cadar ketika menikah adalah sosok yang telah berdosa karena tidak menjaga kesuciannya. Cadar menjadi tolak ukur kelayakan seorang perempuan di mata jemaat dan di tengah-tengah masyarakat. Demikian dengan metode studi feminis, kedudukan kaum perempuan menjadi hal yang perlu ditinjau kembali ditengah-tengah jemaat dan masyarakat.