Pemaafan dan Resiliensi pada Remaja Broken Home Perceraian

Abstract

Keadaan keluarga yang tidak harmonis atau tidak stabil merupakan faktor penentu berkembangnya kepribadian anak (remaja) tidak sehat, misalnya cara penyesuaian diri yang sulit, perilaku agresif dan kenakalan remaja. Remaja yang kedua orang tuanya mengalami perceraian (broken home) sering kali sulit untuk memaafkan keadaan yang dialaminya, terkadang mereka juga kurang mampu untuk beradaptasi setelah mengalami kondisi yang menyakitkan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara pemaafan dengan resiliensi pada remaja broken home perceraian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuantitatif dengan desain korelasional. Sebanyak 216 remaja broken home yang berusia 15 – 19 tahun menjadi partisipan dalam penelitian ini yang diambil menggunakan teknik purposive sampling. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala psikologis Transregression Related Interpersonal Motivation 18 Version Loading Factors ( = 0,872) dan The Resiliency Attitudes and Skills Profile ( = 0,937). Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara pemaafan dan resiliensi pada remaja broken home perceraian (r = 0,200 dengan sig = 0,002(p<0,01)). Selain itu, pemaafan memberikan sumbangan efektif sebesar 4%, pemaafan menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan meningkatnya resiliensi terkhususnya bagi remaja broken home perceraian. Penelitian ini dapat menjadi pondasi bagi individu broken home terkhususnya bagi remaja agar mereka mampu untuk memaafkan dan melewati peristiwa traumatis seperti broken home, karena peneliti melihat bahwa remaja broken home perceraian memiliki pemaafan yang sedang, begitupula dengan tingkat resiliensinya.

Discordant or unstable family conditions, such as difficult adjustment methods, aggressive behavior, and juvenile delinquency, are determining factors in the development of an unhealthy child's (adolescent) personality. Adolescents whose parents have both divorced (broken home) find it difficult to forgive the circumstances they are in; they are also sometimes unable to adapt after experiencing these painful conditions. The aim of this research was to see if there was a correlation between adolescents’ forgiveness and resilience in broken home divorce. This study employed a quantitative method with a correlational design. A total of 216 broken home adolescents aged 15 to 19 years old participated in this study, recruited by using a purposive sampling technique. The psychological scales Transregression Related Interpersonal Motivation 18 Version Loading Factors (a = 0.872) and The Resiliency Attitudes and Skills Profile (a = 0.937) were used in this study. The study's findings reveal a significant positive correlation between forgiveness and resilience in divorced adolescents from broken homes (r = 0.200 with sig = 0.002 (p<0.01)). Furthermore, forgiveness has an effective contribution of 4% (r2), and it is one of the factors associated with increased resilience, particularly for broken home divorce adolescents. In this case, the researchers see that broken home divorce adolescents have a moderate category of forgiveness and resilience. This study can serve as a basis for broken home persons, particularly adolescents, to forgive and recover from traumatic experiences such as broken homes.