Please use this identifier to cite or link to this item: https://repository.uksw.edu//handle/123456789/32552
Title: Sakralitas Wam Dalam Ritual Imag Dari Perspektif Pendampingan dan Konseling Keindonesiaan di Masyarakat Lembah Balim
Other Titles: -
Authors: Ayal, Erna Maria
Keywords: Sakralitas Wam;Ritual;Pendampingan dan Konseling Keindonesiaan;Balim
Issue Date: 5-Feb-2024
Abstract: Masyarakat Balim yang paham dengan asal usul mereka, sangat menghargai makna hidup baik adalah hidup bersama itu terlihat dalam kosmologi dan sistem religi mereka. Hidup baik tergambar dalam relasi dengan sesama, alam dan roh-roh leluhur tercermin dalam filosofi hidup Opakimo Hani Hano, yang berarti hidup dalam kebersamaan ada kebahagiaan, ketentraman, semangat hidup, kesuburan dan arti hidup. Upacara-upacara adat dan ritual dilakukan untuk memperkuat relasi dengan sesama, alam dan leluhur. Dalam kebersamaan itu, keberadaan wam menjadi hewan yang sangat sentral. Wam (babi) adalah hewan yang sakral dan penting dalam semua tatanan hidup dan adat istiadat orang Balim. Wam tidak bisa dipisahkan dari hidup masyarakat Balim, wam mewarnai semua sisi kehidupan orang Balim baik religius, sosial budaya maupun ekonomi, karena terkait dengan penciptaan dan asal usul leluhur mereka. Wam sakral karena dihubungkan dengan kehadiran roh-roh leluhur dalam hidup orang Balim, hal itu terlihat dengan keberadaan wam Loban di setiap honai adat, yang diyakini ada perlindungan, berkat dan kesuburan bagi masyarakat Balim. Kehadiran Wam Loban, membuat wam biasa (profan) terhisap menjadi sakral. Sebaliknya jika mereka tidak mempunya wam, apalagi wam Loban maka akan ada kesusahan, kutuk dan bencana bagi suku mereka. Dengan menggunakan beberapa teori, jelas terlihat teori sakralitas dari Mircea Eliade dan Durkheim yang selama ini dianggap bertentangan, ternyata ada dalam konsep sakralitas Wam, dan itu hanya ada di dalam kosmologi dan religi orang Balim. Penyatuan itu membentuk hierofani sosial. Ada keterikatan emosional antara masyarakat Balim dengan wam peliharaannya, karena wam dilihat sebagai pemberian Walhowak dan roh leluhur dalam kehidupan mereka untuk menolong, menyembuhkan, melindungi mereka dari segala gangguan. Wam menjadi simbol relasi, kehadiran wam sebagai penolong menjadi jelas dalam setiap acara adat ataupun ritual-ritual yang dilakukan. Tanpa wam orang Balim merasa hidup mereka belum lengkap, dan ritual menjadi tidak sempurna. Hidup bersama yang menjadi hidup ideal bagi orang Balim, mulai terganggu dengan kehadiran dan pengaruh dari Imagarek, yaitu orang yang memiliki kekuatan alam untuk menyakiti dan membunuh orang lain secara tidak kasat mata, dengan mengirimkan imag (racun ilmu hitam) pada orang yang menjadi target. Hal ini menjadi ancaman, yang membuat masyarakat hidup dalam kekuatiran, ketakutan, sikap saling curiga, dan hidup bersama mulai terganggu dan menjadi statis. Orang yang terkena racun imag, tidak dapat disembuhkan secara medis, melainkan disembuhkan secara tradisional oleh Hathale. Hathale, adalah orang yang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit non medis. Untuk menyembuhkan orang yang terkena racun imag, dilakukan ritual khusus dengan memakai media air, darah dan daging wam. Dalam situasi yang tidak harmonis itu diperlukan pendampingan dan konseling yang menyentuh secara mendasar sosio kultural orang Balim. Dengan adanya pendampingan dan konseling budaya, nilai ritual dan kosmologi masyarakat Balim akan menjadi kekuatan tersendiri bagi mereka dalam menghadapi berbagai tekanan dan disharmoni sosial tersebut. Termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam sakralitas wam dalam hidup mereka sehari-hari, ataupun dalam ritual imag dan kemampuan Hathale mengandung unsur pendekatan pendampimpang dan konseling keindonesiaan. Nilai sakralitas wam (babi) dan spiritualitas dalam cara hidup bersama yang membentuk kepribadian dan tingkah laku masyarakat Balim, dapat digunakan dalam perspektif pendampingan dan konseling Keindonesiaan. Hal tersebut dapat dikaji dari sudut pandang pendampingan dan konseling keindonesiaan, yang dapat dipakai untuk pengembangan diri mereka maupun untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pendekatan inilah yang berbeda dengan konseling Barat yang lebih menekankan akal dan logika, karena sangat rasionalitas sehingga ritus menjadi tidak penting, sebab segala persoalan dirasionalisasikan dalam paradigma berpikir Barat. Menariknya dalam pendampingan dan konseling di Lembah Balim, tidak hanya melibatkan manusia hidup tapi juga terjadi pendampingan dan konseling yang transenden karena melibatkan kuasa-kuasa, dan roh-roh di alam dalam keterkaitan dengan sakralitas wam yang mewujudkan hierofani sosial.
URI: https://repository.uksw.edu//handle/123456789/32552
Appears in Collections:D - Doctor of Religion Sociology

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
D_762021002_Judul.pdf428.84 kBAdobe PDFView/Open
D_762021002_Bab I.pdf
  Until 2027-01-01
548.73 kBAdobe PDFView/Open
D_762021002_Bab II.pdf
  Until 2027-01-01
542.5 kBAdobe PDFView/Open
D_762021002_Bab III.pdf
  Until 2027-01-01
990.08 kBAdobe PDFView/Open
D_762021002_Bab IV.pdf
  Until 2027-01-01
526.1 kBAdobe PDFView/Open
D_762021002_Bab V.pdf
  Until 2027-01-01
478.67 kBAdobe PDFView/Open
D_762021002_Bab VI.pdf
  Until 2027-01-01
264.67 kBAdobe PDFView/Open
D_762021002_Daftar Pustaka.pdf237.57 kBAdobe PDFView/Open
D_762021002_Lampiran.pdf
  Until 2027-01-01
1.55 MBAdobe PDFView/Open
D_762021002_Formulir Pernyataan Penyerahan Lisensi Noneksklusif dan Pilihan Embargo Tugas Akhir.pdf508.3 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.