Dampak Sunat Terhadap Status Kesehatan Perempuan di Pulau Buru

Abstract

Latar Belakang: Sunat pada perempuan merupakan suatu tindakan menghilangkan atau memotong klitoris, yang dapat menimbulkan dampak secara fisik maupun psikologis bagi kaum perempuan. Tujuan penelitian: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak sunat perempuan terhadap status kesehatan perempuan usia subur di Pulau Buru. Metode: Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Desa Mngeswaen, kriteria inklusi perempuan yang sudah pernah melakukan sunat (Toho Wae) dari usia 15-45 tahun. Jumlah responden yang ditentukan berdasarkan rumus slovin berjumlah 59 responden Hasil: Pengololah data didapatkan bahwa, sunat di Desa Mgeswaen memiliki dampak postif yaitu, tidak merasa nyeri, keputihan, pendarahaan dan tertekan, dampak positif lain pada perempuan yang sudah menika yaitu tidak berbunyi dan nyeri saat melakukan hubungan intim. Tidak ditemukan juga adanya adanya dampak komplikasi negatif pada perempuan yang disunat. Maka tidak dapat ditemukan sebuah isu kebijakan. Walaupun tidak ditemukan dampak komplikasi serius terhadap kesehatan genitalia. Ditinjau dari sudut pandangan kesehatan, perawatan untuk masa pemulihan setelah sunat hanya dilakukan secara tradisional yang mana pengobatannya masih secara tradisional dan yang melakukan perawatan tersebut bukanlah seorang tenaga medis melainkan seorang mama biang sebutan untuk sesepuh yang sudah puluhan tahun melakukan sunat tersebut di Desa Mngeswaen. Adapun obat tradisional yang digunakan oleh mama biang yaitu Lahiglangan, barut, Olbeu dan biji-bijian. Kesimpulan: Diharapkan tenaga kesehatan melakukan edukasi terus menerus mengenai risiko dampak sunat perempuan serta memastikan bahwa prosedur yang dilakukan oleh masyarakat dapat dimodifikasi tanpa mengurangi nilai budaya dan kepercayaan yang dianut oleh penduduk setempat.

Background: Female circumcision is an act of removing or cutting the clitoris, which can have physical and psychological impacts on women. Research aim: The aim of this research is to determine the impact of female circumcision on the health status of women of childbearing age on Buru Island. Method: This research uses quantitative methods with a descriptive approach. The research location chosen was Mngeswaen Village, the inclusion criteria were women who had undergone circumcision (Toho Wae) from the age of 15-45 years. The number of respondents determined based on the Slovin formula was 59 respondents. Results: Data processing found that circumcision in Mgeswaen village had a positive impact, namely, no pain, vaginal discharge, bleeding and pressure. Another positive impact on women who were already married was no sound and pain when making love. There were also no negative complications found in circumcised women. So no policy issue can be found. Although no serious complications were found to impact genital health. Viewed from a health perspective, care for the recovery period after circumcision is only carried out traditionally, where the treatment is still traditional and the person carrying out the treatment is not a medical worker but a mama biang, the term for an elder who has been carrying out circumcision for decades in Mngeswaen Village. The traditional medicines used by Mama Biang are Lahiglangan, barut, Olbeu and seeds. Conclusion: It is hoped that health workers will carry out continuous education regarding the risks of female circumcision and ensure that the procedures carried out by the community can be modified without reducing the cultural values and beliefs held by the local population.