Relevansi dan Strategi Pengembangan Kurikulum Perdamaian

Abstract

Paradoks yang pelan-pelan kian mengkhawatirkan bangsa ini adalah realitas bahwa orang Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa ramah, suka menolong dan rajin bergotong-royong, ternyata dapat menjadi begitu sadis dan gampang berkelahi sebagai dinampakkan oleh perilaku kerusuhan missal, pembakaran dan/atau penganiayaan orang-orang yang disangka melakukan kejahatan, maupun perkelahian antar warga sekampung, konflik antar suku dan/atau agama, tawuran antar pelajar dan sejenisnya. Dalam batas-batas yang lebih "beradab" kesulitan bekerja-sama juga ditunjukan oleh pertikaian demi pertikaian yang terjadi di kalangan elit partai baik yang ada di lembaga legislative maupun di berbagai lembaga pemerintahan akhir-akhir ini. Tentu ada banyak faktor yang menghasilkan fenomena seperti tersebut, namun salah satunya tampaknya dapat dijelaskan melalui konstatasi Neis Mulder (1994:139) yang menyatakan bahwa rejim Orde Baru telah menghasilkan memudarnya pretensi-pretensi etnis dan munculnya lingkungan yang mengasingkan, di mana bahkan kebudayaan sekalipun, sebagai proses produksi makna-makna, telah surut ke belakang . Kehidupan modern di dunia ketiga, termasuk Indonesia, didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis yang melahir-kan masyarakat yang terbelah dan semrawut. Jutaan rakyat miskin hidup di sekitar pusat-pusat perbelanjaan modern bagi orang-orang kaya baru, yang kian hari merasakan kesenjangan yang kian menyolok. Tidak ada kesatuan budaya yang dapat mencegah perkembangan semacam itu