DEKOLONISASI PERAN DAN KEDUDUKAN ISTRI DALAM KELUARGA KRISTEN: Suatu Studi Hermeneutik Feminis Poskolonial Terhadap Kolose 3:18-19

Abstract

Kerangka berpikir patriarki merupakan sebuah ideologi yang mengedepankan pengalaman dan dominasi laki-laki dalam struktur masyarakat, sosial, politik, ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Begitupun dalam Alkitab yang ditulis pada masa itu yang dimana peran dan kedudukan laki-laki sangat terpandang dalam susunan masyarakat. Perempuan disini seringkali menjadi objek ketertindasan ganda yang hidup dalam budaya yang kental akan patriarki dan juga teks-teks suci yang mengvalidasi penundukan tersebut. Seperti dalam teks Kolose 3:18-19 yang menjelaskan tentang bagaimana relasi ketundukan antara suami dan istri dalam rumah tangga, serta bagaimana konteks perempuan NTT terpapar oleh budaya-budaya yang mengandung penundukan seperti “belis”. Oleh karena itu dalam penelitian ini, penulis akan melakukan strategi dekolonisasi dalam melihat konteks penggunaan kata “tunduk” dalam teks Kolose 3:18-19 dengan metode hermeneutik feminis poskolonial dan juga belis dalam pemaknaan bagi masyarakat NTT.

The framework of patriarchy is an ideology that prioritizes the experiences and dominance of men in the structures of society, social, political, economic, and other fields. This is also reflected in the Bible, which was written in a time when men's roles and status were highly regarded in societal structures. Women, in this context, often become the subject of double oppression, living in a culture steeped in patriarchy and sacred texts that validate such subjugation. One example can be found in Colossians 3:18-19, which explains the relationship of subordination between husbands and wives in marriage, and how the women of East Nusa Tenggara (NTT) are exposed to cultures that perpetuate subjugation, such as the practice of "belis" (bride price). Therefore, in this study, the author will employ a decolonization strategy to examine the context of the use of the word "submit" in Colossians 3:18-19 through the lens of postcolonial feminist hermeneutics, and also analyze the meaning of "belis" for the people of NTT.